
Ketika Gerhana Matahari Total
melintasi wilayah Jawa, Sulawesi dan Papua pada 1983, pemerintah Suharto
melarang masyarakat untuk melihat gerhana secara langsung karena
dianggap dapat menimbulkan kebutaan.
Guru besar Ilmu Astronomi ITB
Bambang Hidayat yang ketika itu menjadi wakil ketua Panitia Nasional
Gerhana Matahari masih mengingat bagaimana jalanan yang dilaluinya
ketika menuju tempat pemantauan gerhana di Jawa Tengah tampak sepi.
“Wah
ketat sekali, daerah yang kami lalui ini saja beberapa distop dan
ditanya, dari mana, kami jawab kami ini astronom yang kebetulan baru
saja menyelesaikan tugas di Lembang dan ingin melihat gerhana matahari,
polisi di daerah Kudus, Pati, Cepu
ga bisa apa-apa,” jelas Bambang.
Menurut
dia, lokasi pengamatan gerhana para astronom di Cepu juga dipadati
warga yang ingin menyaksikan peristiwa itu. Ketika itu, mantan Wapres
Adam Malik juga mengamati gerhana di Tanjung Kodok.
Bambang
mengatakan saat itu tidak ada usaha dari pemerintah untuk mengedukasi
masyarakat untuk menyaksikan fenomena alam ini dengan aman.
Mitos tentang gerhana menjadi cerita rakyat
Indonesia yang diwariskan dari generasi ke generasi terutama di Jawa dan
Bali. Dongeng tentang Batara Kala (seringkali digambarkan sebagai
raksasa) menelan Matahari dan Bulan yang menyebabkan keduanya
menghilang, lalu muncul kembali setelah dimuntahkan.
Kepala
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional Thomas Djamaluddin mengatakan
fenomena gerhana ini tak lepas dari mitos tradisional itu dan mitos
modern bahwa akan membuat mata buta.
Menurut Thomas
cahaya matahari ketika gerhana dan sehari-hari sama bahayanya, jadi disarankan hanya melihat secara sekilas saja.
"Tidak
boleh terlalu lama karena bisa membahayakan mata, terutama ketika
proses gerhana terjadi, tetapi ketika fase total justru aman untuk
mata," jelas Thomas.
Dia meyarankan agar masyarakat yang ingin
melihat gerhana menggunakan kacamata matahari yang bisa meredupkan
cahaya matahari 100.000 kali. Alat lain yang dapat dipakai yaitu
kacamata hitam, bisa membantu meredupkan cahaya matahari, kaca dengan
jelaga, atau disket.
"Atau bekas film rontgen dan fotografi itu
bisa digunakan untuk melihat proses gerhana itu harus hati-hati dan
tidak bisa terlalu lama,” jelas Thomas.
Tiga ratus tahun
Tetapi setelah 33 tahun,
masyarakat dan pemerintah kini antuasias menyambut gerhana, termasuk Belitung.
Pemerintah daerah yang dilintasi gerhana matahari total menyiapkan
sejumlah acara, dan melihat keuntungan ekonomi yang sangat besar dari
fenomena alam yang langka ini.
Thomas mengatakan gerhana matahari total baru dapat melintasi daerah yang sama dalam kurun waktu sekitar 300 tahun.
“Kecuali
memang ada daerah yang beruntung seperti Sumatera Selatan dan Bangka
itu mendapatkan gerhana pada 18 Maret 1988, kemudian 9 Maret 2016 itu
berulangnya itu 28 tahun, kalau gerhana matahari sebagian sering, ini
yang total kalau seperti Jawa berulangnya secara rata-rata itu di atas
300 tahun sekali,” jelas Thomas.
Gerhana matahari merupakan peristiwa di mana posisi Bulan, Matahari dan Bumi sejajar dan berada pada garis lurus.
Saat
itu Bulan akan melintas di antara Matahari dan Bumi, untuk beberapa
waktu cahaya Matahari ke Bumi akan terhalang bayangan Bulan. Ketika fase
total itu terjadi bulan menutupi Matahari, korona Matahari akan tampak
seperti menjulur dari pinggir bagian yang ditutupi Bulan.
Menurut
Thomas, gerhana matahari total pada 9 Maret unik dari segi aspek
lintasan dan lebih banyak dinikmati di dataran dibandingkan peristiwa
yang sama sebelumnya.
"Gerhana Matahari Total akan bergerak Lautan
Hindia di Pulau Pagai Selatan di Sumatera Barat kemudian melewati
sejumlah provinsi dan berakhir di Samudra Pasifik dekat Hawaii AS,"
jelas Thomas.
Meneliti Matahari
Seluruh proses gerhana matahari akan terjadi pada pagi hari sekitar 2-3 jam, fase totalnya hanya sekitar 1,5- 3 menit.
Meski
gerhana matahari sudah ada sejak Bumi dicpitakan pada 4,5 milliar tahun
yang lalu, bagi astronom, peristiwa Gerhana Matahari total sangat
penting untuk meneliti mengenai bintang tersebut seperti dijelaskan oleh
Bambang.
“Tetapi masalah yang bertautan dengan fisik
matahari, bertautan dengan hubungan Matahari – Bumi, berhubungan dengan
atmosfer Bumi itu yang belum semuanya terpecahkan," ungkap Bambang.
"Kenapa
harus menunggu gerhana matahari, beberapa alat modern memang bisa
menstimulasi korona, matahari diblok tidak bisa dilihat, tetapi beberapa
peristiwa terjadi pada saat gerhana bisa direproduksi dengan cara
demikian,” tambah dia.
Tak heran jika fenomena ini selalu diburu oleh para astronom dan peneliti, bahkan juga penikmat gerhana.
“Passachof
(pakar astronomi) menerangkan instrumen canggih yang bisa dibawa ke
tempat gerhana matahari belum tentu bisa dibawa pesawat ruang angkasa.
Oleh karena itu, masih ada kesempatan bagi ilmuwan yang ada di Bumi
untuk menjawab pertanyaan bertautan dengan produksi energi di matahari,
produksi panas di korona, lalu perubahan magnet matahari, itu tak bisa
dilakukan di ruang angkasa tetapi harus diamati di permukaan Bumi,”
jelas Bambang.
Edukasi warga
Selain
meneliti, edukasi juga akan dilakukan kepada masyarakat sekitar,
seperti disampaikan Avivah Yamani dari komunitas astronom langit
selatan, yang akan mengamati gerhana matahari di Maba, Halmahera Timur,
Maluku Utara.
"Event seperti ini kami gunakan untuk mengedukasi
masyakat untuk mengenal astronomi, sains dan juga budaya, kenapa budaya
karena kita punya banyak sekali
folklore tentang cerita pengantar
tidur, dongeng yang dibangun dari kepercayaan masyarakat zaman dulu itu
kita gunakan untuk memperkenalkan matahari itu sendiri, kita bisa
jelaskan kenapa matahari bisa menghilang," jelas Avivah.
Maba
merupakan tempat pemantauan Gerhana Matahari Total terlama yaitu 3 menit
17 detik. Sejak tahun 1900 wilayah Indonesia telah dilintasi sekitar 10
Gerhana Matahari Total, yaitu 18 Mei 1901 ( di Sumatera Barat, Jambi,
Kalbar,Kaltim, Sulteng dan Maluku), 14 januari 1926 (Bengkulu, Sumatera
Selatan, Bangka Belitung, dan Kalbar), 9 Mei 1929 ( Aceh dan Sumatera
Utara), 13 Februari 1934 ( Sulawesi Utara dan Maluku Utara) 4 Februari
1962 (Palu dan Papua), 11 Juni 1983 ( Jawa Tengah, Jawa Timur , Sulawesi
Tenggara dan Selatan, Papua), 22 November 1984 (Papua), 18 Maret 1988
(Sumatra Selatan, Bengkulu, Bangka), 24 Oktober 1995 ( Sangihe, Sulawesi
Utara), 9 Maret 2016.
Gerhana Matahari Total akan kembali
melewati wilayah Indonesia pada 20 April 2023 ( Makassar dan Papua)
serta pada 19 April 2042 ( Jambi) dan 24 November 2049 (Jakarta).
Source : http://www.bbc.com